SEJARAH ASAL-USUL DAERAH BIMA
TUGAS AKHIR SEMESTER
Nama : Adhar
Nim :---------------
PTS : STKIP Taman Siswa Bima
Prodi : Pend. Sejarah
Kelas/ Semester : A/-----(-----)
MK : Pengembangan Media Pemb.
Dosen pengampu : Edy Suparjan. M.Pd
Sejarah Asal Usul Daerah Bima
Sejarah Daerah Bima Ini yang akan kita
bahas di lintas mbojo kali ini. Suatu daerah pasti mempunyai asal usul tersendiri, budaya,
dan sejarah masing-masing. begitu juga pun dengan Daerah Bima yang dulu pernah
merupakan sebuah kerajaan yang swapraja selama lima atau enam abad sebelum
lahirnya Republik Indonesia. Sejarah kerajaan Bima hanya diketahui secara
dangkal, disebabkan terutama karena pemerintah Belanda boleh dikatakan tidak
menaruh minat terhadap Bima, asal keamanan dan ketertiban tidak terganggu.
Namun dari Dua sumber lain dapat ikut menjelaskan perkembangan sejarah Bima.
Pertama, ilmu arkeologi yang selama ini hanya
mengungkapkan segelintir peninggalan yang terpisah-pisah. Namun ilmu arkeologi
itulah yang barangkali akan berhasil menentukan patokan-patokan kronologi
terpenting dari masa prasejarah sampai masa Islam. Kedua, sejumlah dokumen
dalam bahasa Melayu yang ditulis di Bima antara abad ke-17 sampai dengan abad 20.
Bahasa Bima merupakan bahasa setempat yang dipakai sehari-hari di Kabupaten
Bima dan Dompu (nggahi Mbojo). Bahasa tersebut jarang, dan sejak masa yang
relatif muda, digunakan secara tertulis. Beberapa teks lama yang masih
tersimpan dalam bahasa tersebut, tertulis dalam bahasa Arab atau Latin. Tiga
jenis aksara asli Bima pernah dikemukakan oleh pengamat-pengamat asing pada
abad ke-19, tetapi kita tidak mempunyai contoh satu pun yang membuktikan bahwa
aksara tersebut pernah dipakai. Oleh karena itu bahasa Bima rupanya tidak
pernah menjadi bahasa tertulis yang umum di daerah tersebut. Pada jaman dahulu,
bahasa lain pernah digunakan. Dua
prasasti telah ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu agaknya dalam bahasa
Sanskerta, yang lain dalam bahasa Jawa kuno. Selanjutnya bahasa Makassar dan
bahasa Arab kadang-kadang dipakai juga. Ternyata sejak abad ke-17 kebanyakan
dokumen tersebut resmi ditulis di Bima dalam Bahasa Melayu. Bima di bagi dalam 4 jaman, yaitu jaman Naka
(Prasejarah), jaman Ncuhi (Proto Sejarah), jaman Kerajaan (Masa Klasik), dan
jaman kesultanan (Masa Islam).
1. Jaman Naka (Prasejarah)
Kebudayaan masyarakat Bima pada jaman Naka masih
sangat sederhana. Masyarakat belum mengenal sistem ilmu pengetahuan dan
teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan atau perindustrian serta
perniagaan dan pelayaran. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari
dan mengumpulkan kekayaan alam yang ada disekitarnya seperti umbia-umbian,
biji-bijian dan buah-buahan. Selain mencari dan mengumpulkan makanan untuk
kebutuhan sehari-hari, mereka juga sudah gemar berburu. Dalam istilah ilmu
arkeologi, karena mereka mengumpulkan makanan dari hasil kekayaan alam disebut
masyarakat pengumpul (Food Gathering).
Kehidupan masyarakat pada jaman Naka
(Prasejarah) selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain.
Masyarakat pada jaman Naka sudah mengenal agama atau kepercayaan. Kepercayaan
yang meraka anut pada masa itu disebut Makakamba dan Makakimbi, yang dalam ilmu
sejarah disebut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Menurut kayakinan mereka
pada masa itu, alam beserta isinya diciptakan oleh Maha Kuasa, disebut Marafu
atau Tuhan. Marafu tersebut merupakan tempat semayam di mata air, pohon-pohon
besar atau batu-batu besar. Dan tempat untuk bersemayamnya Marafu tersebut
Parafu Ro Pamboro.
Pada saat itu juga mereka melakukan upacara
pemujaan terhadap Makakamba Makakimbi di tempat bersemayamnya Parafu yaitu
Parafu Ro Pamboro. Upacara yang mereka lakukan disebut “Toho Dore”. Dalam
upacara tersebut dibacakan mantra atau do’a serta persembahan dan dalam tradisi
upacara “Toho Dore” diberikan berupa sesajen dan penyembelihan hewan. Upacara
tersebut dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Naka.
Naka adalah bukan hanya sebagai seorang pemimpin
agama tetapi Naka juga merupakan pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Naka
tersebut sangat dihormati, sehingga masyarakat pada masa itu, selain menyembah
Marafu, mereka juga sangat menghormati arwah leluhur terutama arwah Naka.
Masyarakat pada masa itu, sangat menjunjung tinggi asas Mbolo Ro Dampa
(Musyawarah) dan Karawi Kaboju (Gotong Royong). Segala sesuatu selalu
dimusyawarahkan.
2. Jaman Ncuhi (Proto Sejarah)
Demikian jaman Naka berakhir, masyarakat Bima
memasuki jaman baru, yaitu jaman Ncuhi. Pada jaman Ncuhi, sekitar abad ke 8 M,
masyarakat Bima mulai berhubungan dengan para pedagang dan musafir yang berasal
dari daerah lain. Para pedagang dan musafir itu berasal dari Jawa, Sulawesi
Selatan, Sumatera dan Ternate. Pada saat itulah masyarakat Bima sudah mengenal
sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan dan
pelayaran serta perniagaan.
Sejak itulah keadaan Dana Mbojo sudah mulai
berubah dan masyarakat sudah mulai tinggal menetap dan mendirikan rumah.
Sehingga lahir adanya Kampung, Kota dan Desa. Keadaan dou Labo Dana (Rakyat dan
Negeri) mulai berkembang, seperti diibaratkan sebagai sebatang pohon yang mulai
Ncuhi atau Ncuri (yang mulai Bertunas dan Berkuncup), karena itu, jaman awal
kemajuan maka disebut jaman Ncuhi. Dan pemimpin mereka pada saat itu disebut
Ncuhi. Sehingga Ncuhi bukan hanya sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi Ncuhi
juga sebagai pemimpin agama. Pada masa Ncuhi, masyarakat masih menganut
terhadap kepercayaan Makakamba dan Makakimbi.
Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah
berkembang, namun Ncuhi bersama rakyat tetap memegang teguh asas Mbolo Ro Dampa
dan Karawi Kaboju. Ncuhi tetap berlaku adil dan bijaksana. Maka, Ncuhi harus
berperan sebagai “Hawo Ro Ninu” rakyat (Pengayom dan Pelindung rakyat) dan
Ncuhi juga harus memegang teguh falsafah Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).
Kian lama masyarakat Bima melakukan hubungan
dengan para pedagang dan musafir dari daerah luar semakin intim. Sehingga para
pedagang dan musafir dari seluruh pelosok nusantara, terutama para pedagang dan
musafir dari Jawa Timur semakin bertambah. Para pedagang dan musafir dari Jawa
Timur mendirikan perkampungan di pesisir Barat Teluk Bima, yaitu desa Sowa
Kecamatan Donggo sekarang. Sampai sekarang bekas pemukiman mereka masih dapat
disaksikan sebagai peninggalan sejarah atau dalam istilah ilmu arkeologi yaitu
disebut situs yang oleh masyarakat diberi nama Wadu Pa’a (Batu Pahat). Salah
seorang tokoh pedagang dan musafir Jawa Timur yang terkenal pada saat itu yaitu
bernama Sang Bima. Sang Bima tersebut menjalin hubungan persahabatn dengan para
Ncuhi, yaitu ncuhi Dara.
Dengan keadaannya masyarakat Bima sekian lama
semakin maju. Kehidupan masyarakat semakin bertambah makmur dan sejahtera dan
mereka hidup rukun dan damai. Tetapi asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju
tetap diamalkan dan falsafah Maja Labo Dahu tetap dijunjung tinggi.
Untuk meningkatkan persatauan dan kesatuan,
seluruh Ncuhi mengadakan Mbolo Ro Dampa di sebuah Babuju di wilayah Ncuhi Dara.
Dalam keputusan Mbolo Ro Dampa :
·
Masyarakat dan seluruh Ncuhi, mengangkat
Ncuhi Dara sebagai pemimpin masyarakat Bima.
·
Ncuhi Parewa diangkat menjadi pemimpin
di wilayah Selatan, yaitu di kecamatan Belo, Woha dan Monta sekarang.
·
Ncuhi Bangga Pupa diangkat menjadi
pemimpin di wilayah Utara, yaitu di kecamatan Wera sekarang.
·
Ncuhi Bolo diangkat menjadi pemimpin di
wilayah Barat, yaitu di kecamatan Bolo dan Donggo sekarang.
·
Ncuhi Doro Woni diangkat menjadi
pemimpin di wilayah Timur, yaitu di kecamatan Wawo dan Sape sekarang.
Gabungan dari seluruh wilayah Dana Mbojo, diberi nama
Babuju. Sesuai dengan nama tempat dalam Mbolo Ro Dampa. Nama Mbojo berasal dari
kata Babuju.
3. Jaman Kerajaan (Masa Klasik)
Sebelum langsung terjadinya ke jaman kerajaan,
menurut dalam cerita legenda dalam kitab BO (catatan kuno kerajaan Bima) bahwa
Sang Bima pertama kali berlabuh di pulau Satonda, kemudian bertemu dengan
seekor naga bersisik emas. Sang naga melahirkan seorang putri dan kemudian
diberi nama putri Tasi Sari Naga. Sang Bima menikahi putri Tasi Sari Naga dan
melahirkan dua orang putra yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala. Kedua
putra Sang Bima tersebut kelak menjadi cikal bakal keturunan raja-raja Bima.
Setelah Sang Bima bertemu dengan putri Tasi Sari Naga yang merupakan seorang
putri dari penguasa setempat (Ncuhi) di pulau Satonda, sejak itu Bima mempunyai
hubungan nyata dengan pulau Jawa. Sang Bima juga diduga seorang bangsawan Jawa.
Bima tercatat dalam kitab Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua Ncuhi
membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan Ncuhi Dara. Selama puluhan tahun
Sang Bima berada di Jawa Timur, Sang Bima mengirim dua orang putranya, yaitu
Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh Ncuhi
Dara sedangkan Indra Kumala dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Doro Woni.
Kemudian semua Ncuhi melakukan Mbolo Ro Dampa untuk menentukan sebagai pemimpin
atau raja di Bima dan Dompu. Hasil kesepakatan dari semua Ncuhi, Indra Zamrud
dijadikan sebagai sangaji atau raja di Bima sedangkan Indra Kumala dijadikan
sebagai sangaji atau raja di Dompu.
Indra Zamrud di Tuha Ro Lanti atau dinobatkan
menjadi sangaji atau raja pertama di Bima. Setelah Indra Zamrud memiliki ilmu
pengetahuan dalam pemerintahan. Maka, berakhirlah jaman Ncuhi dan masyarakat
Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Dalam kepemimpinan bukanlah
dipegang oleh Ncuhi, tetapi dipegang oleh sangaji atau raja.
Sejak berdirinya kerajaan sekitar pertengahan
abad 11 M, dana Mbojo memiliki dua nama, yaitu nama Mbojo dan Bima. Masa
pertumbuhan masa kerajaan Bima, setelah dilantik menjadi sangaji atau raja,
untuk membangun kerajaan, Indra Zamrud dibantu oleh para Ncuhi, terutama Ncuhi
Dara, Ncuhi Parewa, Ncuhi Bolo, Ncuhi Bangga Pupa dan Ncuhi Doro Woni. Nama
jabatan pada masa kerajaan terebut yaitu jabatan seperti Tureli Nggampo atau
Rumabicara (Perdana Menteri), Tureli (Menteri), Rato Jeneli, Gelerang dan
Jabatan lain yang mulai populer pada masa sangaji Manggampo Donggo. Tureli
Nggampo atau Rumabicara yang terkenal, yaitu bernama Bilmana.
4. Zaman Kesultanan (Masa Islam)
Peristiwa-peristiwa dalam menjelang berdirinya
masa kesultanan Bima, kerajaan mengalami kekacauan. Singkat dari cerita
legenda, Salisi salah seorang putra sangaji Ma Wa’a Ndapa, karena ingin menjadi
sangaji. Ia membunuh sangaji Samara dan jena Teke Ma Mbora Mpoi Wera. Dan
Salisi juga mencoba berusaha ingin membunuh Jena Teke La Ka’i yang merupakan
putra dari sangaji Asi Sawo. Sehingga Jena Teke La Ka’I terpaksa meninggalkan
istana.
Setelah dalam kerajaan Bima mengalami kemunduran
kemudian muncul dengan kedatanganya masa Islam. Dengan kedatangannya masa Islam
dapat mempengaruhi dengan berakhirnya masa kerajaan menjadi lahirnya masa
kesultanan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Bima,
melalui beberapa tahap sebagai berikut :
1. Tahap pertama dari Demak sekitar tahun
1540 M
Pada tahun 1540 M, para mubalig dan pedagang
dari Demak dibawah pimpinan Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri
dating ke Bima dengan tujuan untuk menyiarkan agama Islam. Pada masa itu yang
memerintah di kerajaan Bima adalah sangaji Manggampo Donggo. Usaha yang
dilakukan oleh Sunan Prapen kurang berhasil, karena pada tahun 1540 M Demak
mengalami kekacauan akibat mangkatnya Sultan Trenggono.
2. Tahap kedua dari ternate sekitar tahun
1580 M
Pada tahun 1580 M, sultan Bab’ullah mengirim
para mubalig dan pedagang untk menyiarkan agama Islam di Bima. Ketika masa itu
kerajaan Bima, yang memerintah adalah sangaji Ma Wa’a Ndapa. Penyiar agama
Islam yang dilakukan oleh Ternate, tidak dapat berlangsung lama, sebab di
Ternate timbul kesultanan politik, setelah Sultan Bab’ullah mangkat.
3. Tahap ketiga dari Sulawesi Selatan
sekitar tahun 1619 M
Pada tanggal 14 Jumadil awal 1028 H (tahun 1619
M), Sultan Makassar Alauddin awalul Islam mengirim empat orang mubalig dari Luwu,
Tallo dan Bone untuk menyiarkan agama Islam di kerajaan Bima. Para muballig
tersebut berlabuh di Sape dan mereka tidak dating ke istana, karena pada saat
itu istana sedang dikuasai oleh Salisi. Kedatangan para Muballig tersebut
disambut oleh La Ka’I yang sedang berada di Kalodu. Pada tanggal 15 Rabiul awal
1030 H, La Ka’I beserta pengikutnya memeluk agama Islam. Sejak itu mereka
mengganti nama :
·
La Ka’I menjadi Abdul kahir
·
La Mbila putra Ruma Bicara Ama Lima Dai
menjadi Jalaluddin
·
Bumi Jara Mbojo di Sape menjadi
Awaluddin
·
Manuru Bata putra sangaji Dompu Ma Wa’a
Tonggo Dese menjadi Sirajuddin.
Sejak La Ka’i memeluk
agama Islam, maka rakyat juga ikut berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Sejarah
Berdiri, Runtuh dan Perkembangan Islam di Kerajaan Bima
A. Peristiwa Penting Menjelang Berdirinya
Kerajaan.
Kehadiran sang Bima
pada abad 11 M, ikut membantu para ncuhi dalam memajukan Dana Mbojo. Sejak itu,
ncuhi Dara dan ncuhi-ncuhi lain mulai mengenal bentuk pemerintahan kerajaan.
Walau sang Bima sudah kembali ke kerajaan Medang di Jawa Timur, namun tetap
mengadakan hubungan dengan ncuhi Dara. Karena istrinya berasal dari Dana Mbojo
Bima.
Sebelum mendirikan
kerajaan, semua ncuhi sepakat membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan
ncuhi Dara. Setelah puluhan tahun berada di Jawa Timur, sang Bima mengirim dua
orang putranya, yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Dana Mbojo. Indra
Zamrud dijadikan anak angkat oleh ncuhi Dara. Sedangkan Indra Kumala menjadi
anak angkat ncuhi Doro Woni. Seluruh ncuhi sepakat untuk mencalonkan Indra
Zamrud menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo. Sedangkan Indra Kumala dicalonkan
untuk menjadi Sangaji di Dana Dompu.
Indra Zamrud di tuha
ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja yang pertama.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam
bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi
Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana
Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo
Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan
lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Sejak berdirinya
kerajaan di sekitar pertengahan abad 11 M, Dana Mbojo memiliki dua nama. Kerajaan
yang baru didirikan itu, oleh para ncuhi bersama rakyat diberi nama Mbojo.
Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam musyawarah di Babuju. Tetapi oleh
orang-orang Jawa, kerajaan itu diberi nama Bima. Diambil dari nama ayah Indra
Zamrud yang berjasa dalam merintis pendirian kerajaan. Sampai sekarang Dana
Mbojo mempunyai dua nama, yaitu Mbojo dan Bima. Dalam masa selanjutnya,
Mbojo bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan nama suku yang menjadi penduduk
di Kabupaten Bima dan Dompu sekarang. Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah
bukan nama suku.
Pada masa kesultanan,
suku Mbojo membaur atau melakukan pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis.
Sehingga adat istiadat serta bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat
serta bahasa suku Makasar dan Bugis. Dou Mbojo yang enggan membaur dengan
suku Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab
itu, mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat
istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo.
Dou Donggo bermukim di
dua tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan
Donggo sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang.
Yang bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang
Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou
Donggo Ele (orang Donggo Timur).
B. Proses Masuk dan Berkembangnya islam
di Kerajaan Bima
Kerajaan
Gowa Tallo memegang peranan penting dalam proses konversi Bima ke Islam. Saat
itu, pada abad ke 17 M, Belanda telah menguasai sebagian besar jalur
perdangangan bagian barat. Untuk mencegah jalur timur direbut Belanda, Maka
Gowa mengirim expedisi untuk menaklukkan kerajaan pada pantai timur yaitu
lombok dan bima. Kerajaan-kerajaan ini berhasil ditaklukkan dan di Islam kan
oleh Gowa pada tahun 1609 M . Seiring dengan masuknya islam maka peradaban
tulis juga berkembang.
Beberapa
bulan setelah memeluk agama Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama pengikut
didampingi oleh beberapa orang gurunya dari Sulawesi Selatan kembali menuju
Dusun Kalodu. Setelah berada di Kalodu mereka mendirikan sebuah Masjid, selain
sebagai tempat ibadah juga menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun
Kalodu menjadi pusat penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di
sekitar Desa NaE kecamatan Sape.
Dari
puncak Kalodu, Islam semakin bersinar terang menyelimuti kegelapan Bumi Bima.
Seluruh rakyat menyambut gembira instruksi Putera Mahkota Abdul Kahir untuk
memeluk Islam. Salisi semakin berang. Dengan bantuan Belanda ia terus
mengejar dan menyerang Pasukan Abdul Kahir. Proses pengejaran itu mulai dari
Kalodu, Sape hingga mencapai puncaknya di Wera. Di sinilah terjadi pertempuran
habis-habisan hingga menewaskan Panglima Perang Rato Waro Bewi di Doro
Cumpu desa Bala kecamatan Wera. Berkat kerja sama dan kelihaian
orang-orang Wera, Abdul Kahir dan teman seperjuangannya dapat diselamatkan ke
Pulau Sangiang yang selanjutnya dijemput perahu-perahu dari Makassar.
Di
Makassar, Empat serangkai Abdul Kahir, Sirajuddin, Awaluddin dan Jalaluddin
dibina dan dilatih taktik perang. Di tanah ini pula mereka memperdalam ajaran
Islam. Hingga setelah segala persiapan dimatangkan, Sultan Alauddin Makassar
mengirim ekspedisi penyerangan terhadap Salisi. Dalam sejarah Bima tercatat dua
kali ekspedisi ini dikirim untuk menaklukkan Salisi namun gagal. Pasukan
Makassar banyak yang tewas dalam dua ekspedisi ini. Untuk ketiga kalinya pada
tahun 1640 M, ekspedisi baru berhasil. Pada tanggal 5 Juli 1640 M Putera
Mahkota Abdul Kahir berhasil memasuki Istana Bima dan dinobatkan menjadi
Sultan Bima pertama yang diberi gelar Ruma ta Ma Bata Wadu (Taunku Yang
bersumpah Di Atas Batu). Sedangkan Sirajuddin terus mengejar Salisi hingga
ke Dompu. Sirajuddin selanjutnya mendirikan Kesultanan Dompu. Jalaluddin
kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri (Ruma Bicara) pertama dan
diberi gelar Manuru Suntu, dimakamkan di kampung Suntu (Halaman SDN 3 Bima
sekarang).
Tanggal
5 Juli 1640 M menjadi saksi sejarah berdirinya sebuah kesultanan di Nusantara
Timur dan Terus berkiprah dalam percaturan sejarah Nusantara selama 322 tahun.
Untuk itulah pada setiap tanggal 5 Juli diperingati sebagai hari Jadi Bima.
Seperti telah menjadi takdir sejarah pula, bahwa kesultanan Bima diawali oleh
pemimpinnya yang bernama Abdul Kahir I dan berakhir pula dengan Abdul Kahir II
(Putera Kahir). Dua tokoh sejarah itu kini tidur dengan tenang untuk
selama-lamanya di atas bukit Dana Taraha Kota Bima. (Sumber : Kitab
BO ; Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M. Hilir
Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya Sang Putera Mahkota, Alan Malingi )
D. Penyebab Berakhirnya Kerajaan
Bima
Kesultanan Bima
berakhir ketika Indonesia berhasil meraih Kemerdekaan pada tahun 1945. Saat
itu, Sultan Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih memilih untuk
bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia. Siti Maryam, salah seorang Putri
Sultan, menyerahkan Bangunan Kerajaan kepada pemerintahan dan kini di jadikan
Museum. Di antara peninggalan yang masih bisa di lihat adalah Mahkota, Pedang
dan Funitur.
Komentar
Posting Komentar